Menata Ulang Kesejahteraan Pekerja: Peran Koperasi Pegawai dan Snowball Business Model dalam Ekonomi Nasional

oleh -223 Dilihat
Prof. Dr. Nandan Limakrisna Guru Besar Manajemen dan Ekonomi, Universitas Persada Indonesia Y.A.I (UPI Y.A.I), Jakarta Penggagas Snowball Business Model (SBM)
banner 468x60

Perdebatan tahunan mengenai kenaikan upah minimum selalu berujung pada kebuntuan yang sama. Pekerja menuntut kenaikan demi daya beli, pengusaha mengeluhkan tekanan biaya di tengah persaingan global. Negara berada di tengah, menetapkan angka, lalu berharap sistem menyesuaikan dengan sendirinya. Pola ini berulang, sementara akar masalahnya jarang disentuh.

Padahal, ada jalan keluar yang relatif sederhana, sistemik, dan berkelanjutan: menjalankan Snowball Business Model (SBM) melalui koperasi pegawai di seluruh perusahaan besar, baik swasta maupun BUMN.

banner 336x280

Gagasan ini berangkat dari satu realitas penting: tidak semua kesejahteraan harus datang dari upah. Jika penghasilan pekerja hanya bergantung pada gaji, maka setiap tekanan ekonomi akan selalu berujung pada tuntutan kenaikan upah. Ini memberatkan pengusaha dan tidak selalu menjamin peningkatan kesejahteraan riil.

Melalui koperasi pegawai berbasis SBM, para pekerja tidak diminta menjadi pedagang aktif dan tidak terganggu pekerjaan utamanya. Seluruh operasiona pengadaan barang, distribusi, pencatatan transaksi, dan pengelolaan siste dijalankan oleh pengurus koperasi secara profesional dan berbasis sistem digital. Pegawai berperan sebagai anggota dan pasar yang pasti, bukan operator harian.

Koperasi menyediakan kebutuhan rutin anggota pangan, kebutuhan rumah tangga, produk haria dengan harga yang lebih efisien karena rantai distribusi pendek dan berbasis komunitas. Keuntungan koperasi tidak hilang ke luar sistem, tetapi kembali ke anggota dalam bentuk sisa hasil usaha (SHU) dan manfaat ekonomi lainnya.

Dengan skema ini, pegawai memperoleh penghasilan tambahan dan penurunan biaya hidup secara simultan. Kesejahteraan meningkat tanpa harus sepenuhnya membebani struktur upah perusahaan. Bagi pengusaha, ini menciptakan ruang napas: tekanan kenaikan upah nominal dapat diredam karena daya beli riil pekerja meningkat.

Lebih jauh, jika SBM dijalankan secara luas di koperasi pegawai perusahaan besar, dampaknya melampaui relasi pekerja–perusahaan. Setiap koperasi pegawai dapat bermitra dengan koperasi produsen di desa, UMKM, dan komunitas lokal sebagai pemasok. Dengan demikian, terbentuk rantai pasok nasional berbasis koperasi, dari desa ke kota, dari produsen ke konsumen yang pasti.

Inilah kekuatan SBM: ekonomi bergerak berulang dan berlipat seperti bola salju. Transaksi harian menciptakan arus kas nyata, bukan spekulatif. Nilai tambah bertahan di dalam negeri. Ketergantungan pada impor produk konsumsi menurun. Sektor riil rakyat hidup tanpa harus menunggu proyek besar atau investasi asing.

Dalam konteks sebesar Indonesia, potensi kontribusinya sangat besar. Bayangkan jika setiap perusahaan besar diwajibkan memiliki koperasi pegawai berbasis SBM. Jutaan pekerja menjadi bagian dari ekosistem ekonomi produktif yang terorganisasi. Arus transaksi harian bernilai triliunan rupiah terjadi secara konsisten. Dampaknya terhadap PDB, PNBP, dan ketahanan ekonomi nasional akan signifikan.

Karena itu, peran negara menjadi krusial. Negara tidak cukup hanya mendorong secara sukarela. Regulasi diperlukan untuk:

1. mewajibkan perusahaan besar—BUMN dan swasta—memiliki koperasi pegawai berbasis SBM,
2. memastikan tata kelola profesional dan transparan,
3. mengintegrasikan koperasi pegawai dengan koperasi produsen dan UMKM.

Terkait aturan bahwa seseorang tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu koperasi, pendekatan ini justru memperkuat fokus dan akuntabilitas. Keanggotaan tunggal memastikan komitmen, volume transaksi yang jelas, dan pembagian manfaat yang adil. Namun, aturan ini harus diiringi jaminan bahwa koperasi benar-benar dikelola profesional dan memberikan manfaat nyata bagi anggotanya.

Pada akhirnya, solusi atas tekanan upah, persaingan global, dan lemahnya sektor riil tidak terletak pada kebijakan parsial. Ia membutuhkan arsitektur ekonomi baru yang menggabungkan kepentingan pekerja, pengusaha, dan negara.

Koperasi pegawai berbasis SBM menawarkan arsitektur itu.
Pekerja sejahtera tanpa membebani upah secara berlebihan.
Pengusaha lebih efisien dan berkelanjutan.
Negara memperoleh ekonomi yang bergerak dari bawah.

Jika kebijakan ini dijalankan secara nasional, kontribusinya terhadap ekonomi negara akan sulit dibayangkan besarnya dan justru karena itu, layak untuk segera diwujudkan.

Oleh: Prof. Dr. Nandan Limakrisna
Guru Besar Manajemen dan Ekonomi, Universitas Persada Indonesia Y.A.I (UPI Y.A.I), Jakarta
Penggagas Snowball Business Model (SBM)

>>> CATATAN REDAKSI <<<

Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: palapamediaonline@gmail.com.
Terima kasih.
____________________

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *