Pinjol, Teror Penagihan, dan Arah Inklusi Keuangan yang Perlu Diluruskan

oleh -230 Dilihat
banner 468x60

Oleh: Nandan Limakrisna

Perkembangan pinjaman online (pinjol) di Indonesia menunjukkan paradoks yang semakin jelas. Di satu sisi, pinjol diposisikan sebagai instrumen inklusi keuangan yang memperluas akses pembiayaan masyarakat. Di sisi lain, praktik penagihan yang kerap menimbulkan tekanan psikologis justru berpotensi merusak tujuan inklusi itu sendiri.

banner 336x280

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat nilai outstanding fintech lending telah mencapai Rp92,9 triliun hingga Oktober 2025. Angka ini menunjukkan besarnya peran pinjol dalam sistem keuangan nasional. Namun, pertanyaan yang perlu diajukan bukan hanya seberapa besar nilainya, melainkan seperti apa kualitas relasi ekonomi yang dibangun di dalamnya.

Ketika Gagal Bayar Dijawab dengan Teror

Fenomena yang kerap muncul adalah penagihan agresif ketika nasabah belum mampu membayar. Pesan berulang, tekanan verbal, bahkan intimidasi psikologis menjadi praktik yang masih ditemui, meskipun regulasi telah melarangnya. Di sinilah muncul keanehan logis yang sulit dibenarkan.

Bagaimana mungkin seseorang diharapkan mampu membayar utang, jika kondisi psikisnya justru dibuat terganggu? Dalam logika ekonomi paling sederhana, kemampuan membayar sangat bergantung pada stabilitas mental dan produktivitas kerja. Teror penagihan justru merusak keduanya. Nasabah kehilangan fokus, relasi sosial terganggu, dan dalam banyak kasus, pendapatan malah menurun. Akibatnya, peluang pelunasan semakin kecil.

Pendekatan ini bukan hanya tidak manusiawi, tetapi juga tidak rasional secara ekonomi.

Masalah Utamanya Bukan Niat, tetapi Ketidakmampuan Sementara

Perlu ditegaskan, mayoritas kasus keterlambatan pembayaran bukan disebabkan oleh niat buruk. Lebih sering, penyebabnya adalah ketidakmampuan sementara: usaha menurun, kehilangan pekerjaan, sakit, atau tekanan ekonomi rumah tangga. Dalam sistem pembiayaan yang sehat, kondisi seperti ini seharusnya menjadi dasar untuk dialog, bukan intimidasi.

Perbankan formal telah lama mengenal mekanisme restrukturisasi, penjadwalan ulang, dan pendekatan persuasif ketika debitur mengalami kesulitan. Tujuannya jelas: menjaga keberlanjutan pembayaran sekaligus memulihkan kemampuan ekonomi debitur. Ironisnya, sebagian praktik pinjol justru bergerak ke arah sebaliknya.

Inklusi Keuangan Tidak Cukup dengan Akses

Bank Indonesia berulang kali menekankan bahwa stabilitas sistem keuangan sangat bergantung pada ketahanan sektor rumah tangga dan kualitas intermediasi keuangan. Prinsip ini relevan untuk membaca praktik pinjol hari ini.

Inklusi keuangan tidak cukup dimaknai sebagai kemudahan akses pinjaman. Inklusi yang sejati harus memastikan bahwa pembiayaan tidak menciptakan kerentanan baru. Ketika pinjol lebih banyak digunakan untuk konsumsi jangka pendek dan ditagih dengan cara represif, maka inklusi berubah menjadi ilusi.

OJK telah melakukan langkah penting melalui pengaturan bunga, tenor, dan etika penagihan. Namun, tantangan kebijakan ke depan adalah menggeser orientasi sistem, bukan sekadar memperketat aturan di hilir.

Dari Penagihan Represif ke Resolusi Persuasif

Pendekatan penagihan pinjol perlu diluruskan secara mendasar. Ketika nasabah belum mampu membayar, pertanyaan pertama seharusnya bukan “kapan bayar?”, melainkan “apa masalahnya dan bagaimana solusinya?”
Pendekatan persuasif membuka ruang untuk:
• penjadwalan ulang pembayaran,
• penyesuaian skema cicilan,
• hingga pendampingan agar sumber pendapatan nasabah pulih kembali.
Langkah-langkah ini bukan bentuk pemanjaan, melainkan strategi rasional untuk memulihkan kemampuan bayar.

Alternatif Kebijakan: Pinjol Produktif dan Pendampingan Sistemik

Kritik terhadap praktik pinjol tidak berarti menolak inovasi. Justru sebaliknya, inovasi perlu diarahkan. Salah satu jalan keluarnya adalah mendorong pinjol produktif berbasis bagi hasil yang disertai pendampingan usaha.

Dalam skema ini, risiko tidak sepenuhnya dibebankan kepada peminjam. Pendampingan dapat dilakukan berbasis sistem digital: pencatatan arus kas sederhana, evaluasi usaha berkala, hingga rekomendasi pengelolaan usaha. Perguruan tinggi, koperasi, dan inkubator bisnis dapat dilibatkan sebagai mitra.

Dengan demikian, kegagalan bayar tidak langsung diperlakukan sebagai pelanggaran, melainkan sebagai indikator masalah usaha yang perlu dibantu diselesaikan.

Menjaga Arah dan Martabat Inklusi Keuangan

Pada akhirnya, utang adalah relasi ekonomi yang dibangun di atas kepercayaan. Teror hanya akan menghancurkan kepercayaan itu dan merusak reputasi industri keuangan digital secara keseluruhan.

Jika pinjol ingin benar-benar berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, maka cara memperlakukan nasabah yang sedang kesulitan menjadi ujian kebijakan dan etika. Inklusi keuangan yang berkelanjutan mensyaratkan empati, rasionalitas, dan orientasi jangka panjang.

Karena dalam ekonomi yang sehat, utang dibayar dengan pendapatan—bukan dengan ketakutan.

Profil Penulis
Nandan Limakrisna adalah Guru Besar Manajemen dan pemerhati kebijakan ekonomi dan keuangan. Aktif menulis artikel opini di berbagai media nasional dengan fokus pada ekonomi kerakyatan, pembiayaan UMKM, dan transformasi kebijakan keuangan berkelanjutan.

>>> CATATAN REDAKSI <<<

Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: palapamediaonline@gmail.com.
Terima kasih.
____________________

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *