Air Bersih Bukan Barang Dagangan: Negara Wajib Hadir

oleh -238 Dilihat
Prof. Dr. Nandan Limakrisna, MM
banner 468x60

Air bersih adalah kebutuhan paling mendasar manusia. Tanpa air, tidak ada kehidupan. Namun ironisnya, di berbagai wilayah, warga justru harus membayar mahal hanya untuk memperoleh air bersih karena pengelolaannya diserahkan kepada pihak swasta. Pertanyaannya sederhana tetapi mendasar: di mana negara ketika rakyat harus membayar mahal untuk kebutuhan hidup paling dasar?

Konstitusi Indonesia sesungguhnya sudah sangat jelas. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi dan air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kalimat ini bukan sekadar slogan, melainkan mandat konstitusional. Air bukan komoditas pasar bebas; air adalah hak dasar warga negara.

banner 336x280

Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya telah menegaskan bahwa negara tidak boleh melepaskan kendali atas sumber daya air. Pelibatan swasta dimungkinkan, tetapi harus bersifat terbatas, berada di bawah pengawasan ketat negara, dan tidak menghilangkan hak rakyat atas akses air bersih yang terjangkau. Ketika pengelolaan air membuat masyarakat harus membayar mahal tanpa alternatif layanan publik, maka yang terjadi bukan efisiensi, melainkan komersialisasi hak hidup.

Air, Fasilitas Umum, dan Kewajiban Negara

Sebagian pihak berargumen bahwa air bersih tidak mungkin diberikan secara gratis karena ada biaya infrastruktur, operasional, dan pemeliharaan. Argumen ini benar secara teknis, tetapi keliru jika dijadikan alasan untuk membebankan seluruh biaya kepada rakyat.

Dalam kerangka kebijakan publik, fasilitas umum tidak selalu berarti gratis absolut, tetapi tidak boleh menjadi beban ekonomi yang menghalangi akses warga, terutama untuk kebutuhan dasar. Negara wajib memastikan bahwa setiap warga negara memperoleh air bersih dalam jumlah minimum tanpa tekanan finansial. Jika untuk minum, memasak, dan mandi saja warga harus mengeluarkan biaya yang memberatkan, maka persoalan ini bukan lagi soal teknis, melainkan kegagalan negara menjalankan mandat konstitusi.

Air bersih harus diperlakukan sebagai layanan publik strategis, sama halnya dengan pendidikan dasar dan layanan kesehatan primer. Negara boleh menarik biaya operasional yang wajar, tetapi tidak boleh mengubah hak hidup menjadi barang dagangan.

Mengembalikan Air ke Jalur Konstitusi

Sudah saatnya model pengelolaan air bersih dikoreksi. Pengelolaan seharusnya diberikan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) agar negara hadir secara nyata, bukan sekadar sebagai pemberi izin. Pemerintah daerah dapat memberikan penyertaan modal, sementara pembiayaan tambahan dapat melibatkan perbankan melalui skema bagi hasil, bukan bunga yang berpotensi memberatkan dan mendorong komersialisasi berlebihan.

Skema tarif juga harus dirancang secara adil dan berkeadilan sosial. Kebutuhan dasar air rumah tangga wajib digratiskan atau disubsidi penuh. Pemakaian di atas batas wajar—terutama untuk kegiatan usaha dan konsumsi komersial—dapat dikenakan tarif progresif. Dengan mekanisme ini, terjadi subsidi silang yang sehat: yang mampu membantu yang membutuhkan.

Model seperti ini bukan konsep idealistis tanpa dasar. Banyak daerah dan negara telah membuktikan bahwa air dapat dikelola secara profesional, berkelanjutan, dan tetap berpihak pada rakyat. Kuncinya adalah satu: negara tidak boleh absen dan tidak boleh menyerahkan air sepenuhnya kepada mekanisme pasar.

Air dan Martabat Negara

Cara negara mengelola air mencerminkan cara negara memandang rakyatnya. Ketika air bersih menjadi mahal dan sulit diakses, negara sedang mengirim pesan keliru bahwa hak hidup dapat ditentukan oleh kemampuan membayar. Ini bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi persoalan moral dan keadilan sosial.

Kehadiran negara tidak selalu harus diwujudkan dalam proyek besar dan megah. Sering kali, kehadiran negara justru paling bermakna ketika ia memastikan rakyatnya tidak kehausan. Air bersih bukan hadiah, bukan belas kasihan, dan bukan komoditas. Air adalah hak konstitusional warga negara.

Sudah waktunya kebijakan pengelolaan air dikembalikan ke khitah UUD 1945: negara sebagai penguasa dan penanggung jawab, BUMD sebagai pengelola, dan rakyat sebagai pemegang hak. Jika tidak, kita sedang membiarkan konstitusi mengering—sementara air justru mengalir ke logika pasar.

Profil Penulis

Nandan Limakrisna adalah akademisi, peneliti, pakar ekonomi, dan pemerhati kebijakan publik. Aktif menulis dan memberikan masukan strategis terkait ekonomi kerakyatan, tata kelola sumber daya alam, dan peran negara dalam mewujudkan keadilan sosial sesuai amanat UUD 1945.

>>> CATATAN REDAKSI <<<

Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: palapamediaonline@gmail.com.
Terima kasih.
____________________

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *