Palapanews.Asia, Jakarta – Film terbaru berjudul “Air Mata Mualaf” siap hadir di layar lebar mulai 27 November 2025, membawa kisah menyentuh tentang perempuan Indonesia yang menemukan titik balik hidupnya di tengah konflik keluarga, luka masa lalu, dan perjalanan spiritual yang tak terduga. Diproduksi oleh Merak Abadi Productions bekerja sama dengan Suraya Filem Malaysia, film ini digadang menjadi salah satu drama religi keluarga paling emosional di akhir tahun.
Acha Septriasa memerankan Anggie, perempuan yang merantau dan bersekolah di Australia. Kekerasan yang ia alami dari kekasihnya, Ethan, membuat hidupnya runtuh. Dalam keadaan terluka dan terpuruk, ia ditemukan oleh seorang gadis pengurus masjid. Pertemuan yang perlahan membuka pintu baru baginya menuju pemahaman tentang Islam dan dirinya sendiri.
“Anggie adalah sosok yang mengambil keputusan dengan hati yang penuh luka, tetapi tetap memelihara cintanya pada keluarga,” ungkap Acha saat jumpa pers di Epicentrum XXI, Jakarta (19/11).
Film ini diperkuat oleh jajaran aktor lintas generasi dan negara: Acha Septriasa, Achmad Megantara, Budi Ros, Dewi Irawan, Rizky Hanggono, Dewi Amanda, Yama Carlos, Almeera Quinn. Aktor-aktor internasional seperti Syamim Freida, Hazman Al Idrus, dan Matthew Williams turut memberi warna baru pada dinamika cerita, menegaskan kolaborasi produksi antara Indonesia, Malaysia, dan Australia.
Disutradarai oleh Indra Gunawan, film ini dirancang bukan untuk menghakimi atau menunjukkan siapa yang benar, melainkan untuk memotret manusia ketika berada pada persimpangan hidup.
“Saya membuat film ini bukan untuk memberi jawaban tunggal. Justru saya ingin membuka ruang refleksi dan dialog, bahwa perjalanan hidup tidak selalu hitam-putih,” kata Indra.
Produser Dewi Amanda menyampaikan bahwa keputusan mengangkat tema perbedaan keyakinan berangkat dari kedekatannya dengan realitas banyak keluarga.
“Perbedaan sering dianggap ancaman. Dalam film ini, kami ingin menunjukkan bahwa justru di situlah ruang belajar. Hidayah atau pilihan hidup tidak datang karena paksaan; ia datang dari Tuhan,” ujarnya.
Rizky Hanggono mengaku beberapa adegan membuatnya teringat pada pengalaman pribadinya.
“Film ini mengingatkan bahwa mencintai seseorang tidak selalu berarti mengarahkan hidupnya,” tuturnya.
Konflik terbesar dalam film bukan hanya mengenai agama, tetapi juga mengenai hati yang ingin jujur pada diri sendiri, sementara keluarga berusaha mempertahankan tradisi mereka.













