Palapanews.Asia, Jakarta – Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) memperingati hari jadinya yang ke-29 di Sadjoe Café, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (5/11). Mengusung tema “Refleksi atas Ancaman Militerisasi dan Krisis Demokrasi’, peringatan tahun ini tidak hanya menjadi momentum refleksi atas krisis demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia, tetapi juga penghormatan mendalam bagi almarhum Johnson Panjaitan, salah satu pendiri dan tokoh penting dalam sejarah perjuangan PBHI.
Acara ini dihadiri para aktivis, akademisi, dan pegiat HAM yang telah lama berkiprah bersama PBHI. Suasana haru terasa ketika para peserta mengenang sosok Johnson sebagai pribadi yang gigih, tegas, dan tulus membela mereka yang tertindas. Ketua PBHI Nasional, Julius Ibrani, dalam sambutannya menegaskan bahwa semangat Johnson harus terus hidup dalam perjuangan organisasi.
“Kita sedang berada di titik kritis ketika kekuasaan mulai meniru wajah lama: menormalisasi kekerasan negara, membungkam perbedaan, dan mempersempit ruang kebebasan. PBHI berdiri untuk memastikan rakyat tidak kehilangan suaranya,” ujar Julius.
Salah satu pendiri PBHI, Hendardi, turut hadir dan menyampaikan rasa duka mendalam kepada keluarga Johnson Panjaitan. Dalam sambutannya, ia juga mengenang awal berdirinya PBHI pada 1996 bersama sejumlah aktivis hukum seperti Mulyana W. Kusuma, Luhut Pangaribuan, dan Rasto Atmojo.
“Saya ingin pertama-tama menyampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya kepada keluarga Johnson Panjaitan, kepada istri dan anak-anaknya. Dan tentu, selamat ulang tahun untuk PBHI yang ke-29, usia yang tidak muda lagi,” ujar Hendardi membuka pidatonya.
Ia menambahkan, keberhasilan PBHI bertahan hampir tiga dekade tidak lepas dari semangat dan dedikasi para pengurusnya, termasuk Julius Ibrani dan Monik, yang melanjutkan tongkat estafet perjuangan.












